BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Indonesia
merupakan negara dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi mulai dari
keanekaragaman tingkat gen, spesies, maupun ekosistemnya. Salah satu
keanekaragaman di tingkast ekosistem yaitu ekosistem wilayah pesisir pantai yang
memiliki karakter unik dan khas karena merupakan pertemuan antara ekosistem
daratan dan ekosistem lautan. Ekosistem pesisir juga memiliki potensi kekayaan hayati
baik dari segi biologi, ekonomi bahkan pariwisata. ekosistem tersebut yang
memiliki potensi tersebut yaitu hutan mangrove.
Luas
hutan mangrove di Indonesia pada tahun 1999 mencapai 8,60 juta hektar dan
merupakan terluas di dunia yakni 3,2
juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh
pulau-pulau besar mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi sampai ke
Papua (Spalding et al., 2010). Tetapi
keadaan hutan mangrove saat ini telah mengalami kerusakan sekitar 5,30 juta
hektar. Kerusakan tersebut antara lain disebabkan oleh konversi mangrove
menjadi kawasan pertambakan, pemukiman, dan industri, padahal mangrove
berfungsi sangat strategis dalam menciptakan ekosistem pantai yang layak untuk
kehidupan organisme akuatik. Keseimbangan ekologi lingkungan perairan pantai
akan tetap terjaga apabila keberadaan mangrove dipertahankan karena mangrove
dapat berfungsi sebagai biofilter, agen pengikat dan perangkap polusi. Mangrove
juga merupakan tempat hidup berbagai jenis gastropoda, kepiting pemakan
detritus, dan bivalvia pemakan plankton sehingga akan memperkuat fungsi
mangrove sebagai biofilter alami.
Menurut
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial berdasarkan data
tahun 1999, luas hutan mangrove di Indonesia diperkirakan mencapai 8,60 juta hektar
dan 5,30 juta hektar diantaranya dalam kondisi rusak. Kerusakan tersebut
disebabkan oleh konversi mangrove yang sangat intensif pada tahun 1990-an
menjadi pertambakan terutama di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dalam
rangka memacu ekspor komoditas perikanan (Machmud, 2010).
Ekowisata
adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan
tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan
penduduk setempat. Oleh karena itu dalam pengembangan ekowisata perlu adanya
rencana pengelolaan yang mengacu kepada tujuan utama yaitu selain sebagai
pengembangan dari segi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat juga
mengupayakan perlindungan lingkungan hidup dengan mengintergrasikan dalam
pendekatan sistem konservasi untuk keberlanjutan sumberdaya hayati perairan.
1.2
Rumusan
Masalah
Rumusan masalah yang dapat diberikan
dalam paper ini yaitu bagaimana deskripsi kawasan Konservasi, Hutan Mangrove
dan Ekowisata dapat menunjang kehidupan masyarakat dari segi ekonomi, dan
ekologi ?
1.3
Tujuan
Adapun tujuan dari
penulisan paper ini yaitu :
1.
Sebagai salah satu pemenuhan prasyarat
tugas mata kuliah Konservasi Sumberdaya
Hayati Perairan yang diberikan oleh dosen pengampu.
2. Untuk
mengetahui dan menambah wawasan mengenai Kawasan Konservasi Hutan Mangrove
Sebagai Ekowisata.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Konservasi
Secara umum, konservasi mempunyai arti pelestarian
yaitu melestarikan/ mengawetkan daya dukung, mutu, fungsi, dan kemampuan
lingkungan secara seimbang (MIPL, 2010; Anugrah, 2008; Wahyudi dan DYP
Sugiharto (ed), 2010).
Sedangkan
secara harafiah konservasi berasal dari kata
Conservation yang terdiri atas kata con (together)
dan servare (keep/save)
yang memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara
bijaksana (wise use). Ide ini
dikemukakan oleh Theodore Roosevelt yang merupakan orang Amerika pertama yang
mengemukakan tentang konsep konservasi.
Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana
konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya alam
untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi
sumberdaya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang. Sedangkan kata konservasi untuk konservasi
hutan mangrove yaitu usaha perlindungan, pelestarian alam dalam bentuk
penyisihan areal sebagai kawasan suaka alam baik untuk perairan laut, pesisir,
dan hutan mangrove.
Sementara itu, Piagam Burra
menyatakan bahwa pengertian konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan
pemeliharaan dan sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Oleh karena itu,
kegiatan konservasi dapat pula mencakupi ruang lingkup preservasi, restorasi, rekonstruksi, adaptasi dan revitalisasi
(Marquis-Kyle & Walker, 1996; Alvares, 2006). Pemeliharaan adalah perawatan
yang terus menerus mulai dari bangunan dan makna penataan suatu tempat. Dalam
hal ini, perawatan harus dibedakan dari perbaikan. Perbaikan mencakupi restorasi dan rekonstruksi dan harus
dilaksanakan sesuai dengan makna bangunan dan nilai yang semula ada. Preservasi adalah mempertahankan
(melestarikan) yang telah dibangun disuatu tempat dalam keadaan aslinya tanpa
ada perubahan dan mencegah penghancuran. Restorasi
adalah pengembalian yang telah dibangun disuatu tempat ke kondisi semula yang
diketahui, dengan menghilangkan tambahan atau membangun kembali
komponen-komponen semula tanpa menggunakan bahan baru. Rekonstruksi adalah
membangun kembali suatu tempat sesuai mungkin dengan kondisi semula yang diketahui
dan diperbedakan dengan menggunakan bahan baru atau lama. Sementara itu,
adaptasi adalah merubah suatu tempat sesuai dengan penggunaan yang dapat
digabungkan.
Berdasarkan
konsep cakupan dan arah konservasi dapat dinyatakan bahwa konservasi merupakan
sebuah upaya untuk menjaga, melestarikan, dan menerima perubahan dan/atau
pembangunan. Perubahan yang dimaksud bukanlah perubahan yang terjadi secara
drastis dan serta merta, melainkan perubahan secara alami yang terseleksi. Hal
tersebut bertujuan untuk tatap me melihara identitas dan sumber daya lingkungan
dan mengembangkan beberapa aspeknya untuk memenuhi kebutuhan arus modernitas
dan kaulitas hidup yang lebih baik. Dengan demikian, konservasi merupakan upaya
mengelola perubahan menuju pelestarian nilai dan warisan budaya yang lebih baik
dan berkesinambungan. Dengan kata lain bahwa dalam konsep konservasi terdapat
alur memperbaharui kembali (renew),
memanfaatkan kembali (reuse),
mengurangi (reduce), mendaurulang kembali (recycle),
dan menguangkan kembali (refund) (Bengen, 2004).
2.2
Deskripsi Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara
sungai, daerah pasang surut atau tepi laut. Mangrove adalah sebutan untuk
komunitas tumbuhan pantai yang memiliki adaptasi khusus. Secara ekologis, ekosistem
mangrove dapat berfungsi sebagai penahan ombak, angin dan intrusi air laut.
serta tempat perkembangan bagi berbagai jenis ikan, udang, kepiting, kerang,
siput, dan hewan lainnya. Hutan mangrove juga merupakan tempat hidup beberapa
satwa liar seperti monyet, ular, berang-berang, biawak, dan burung (Machmud, 2010).
Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang
menonjol yang disebut akar nafas (Pneumatofor).
Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang
miskin oksigen atau bahkan anaerob. Dalam dua dekade ini keberadaan ekosistem
mangrove mengalami penurunan kualitas secara drastis. Saat ini mangrove yang
tersisa hanyalah berupa komunitas-komunitas mangrove yang ada disekitar muara-muara
sungai dengan ketebalan 10-100 meter, didominasi oleh Avicennia
marina, Rhizophora mucronata, Sonneratia caseolaris yang semuanya memiliki manfaat sendiri.
Misalkan pohon Avicennia memiliki
kemampuan dalam mengakumulasi (menyerap dan menyimpan dalam organ daun, akar,
dan batang) logam berat pencemar, sehingga keberadaan mangrove dapat berperan
untuk menyaring dan mereduksi tingkat pencemaran diperairan laut, dan manfaat
ekonomis seperti hasil kayu serta bermanfaat sebagai pelindung bagi lingkungan
ekosistem daratan dan lautan (Wijayanti, 2007).
Kondisi mangrove yang sesuai akan membentuk hutan
yang ekstensif dan produktif. Karena hidupnya di dekat pantai, mangrove sering juga dinamakan
hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Istilah bakau
itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan nama dari salah satu spesies
penyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. Sehingga dalam percaturan bidang
keilmuan untuk tidak membuat bias antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove
sudah ditetapkan merupakan istilah baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki
karakteristik hidup di daerah pantai. Namun akhir-akhir ini kerusakan hutan
mangrove marak terjadi. Kerusakan hutan mangrove disebabkan dua hal yaitu
aktivitas manusia dan faktor alam. Aktifitas manusia yang menyebabkan Kerusakan
hutan mangrove adalah perambahan hutan mangrove secara besar-besaran untuk
pembuatan arang, kayu bakar, dan bahan bangunan, serta penguasaan lahan oleh
masyarakat, pembukaan lahan untuk pertambakan ikan dan garam, pemukiman,
pertanian, pertambangan, dan perindustrian (Machmud,
2010).
Pembangunan tambak di areal mangrove sebenarnya
bukan tanpa masalah. Ada beberapa masalah yang dihadapi para pembuka lahan,
seperti pengasaman tanah, tidak bercampurnya tanah, serta berkurangnya anakan
untuk keperluaan perkembangan ikan. Dalam banyak kasus pestisida dan
antibiotika juga sering kali digunakan bahkan untuk tambak tradisional. Tambak
tidak selalu berarti hilangnya mangrove hal ini dapat dilihat pada pola tambak
tumpang sari yang di praktekkan di
beberapa tempat di Jawa. Pada pola ini mangrove di tanam di bagian tengah
tambak. Sistem ini sangat baik untuk diterapkan karena selain melindungi dan
mempertahankan mangrove, juga dapat dimanfaatkan oleh burung air. Kegiatan
pengambilan kayu sering terlihat Riau, Kalimantan dan Irian Jaya. Sayangnya
dampak yang ditimbulkan oleh pengambilan kayu terhadap hilangnya luasan areal
mangrove sangat sulit untuk dirinci karena mangrove ternyata dapat tumbuh
sendiri setelah tubuhnya ditebang, akan tetapi tidak berarti bahwa tumbuhan
yang baru tersebut akan selalu sama dengan jenis sebelumnya (Machmud, 2010).
2.3
Ekowisata
Pengertian tentang ekowisata mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu. Namun, pada hakekatnva pengertian ekowisata
adalah suatu bentuk wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian area
yang masih alami (natural area),
memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya bagi
masyarakat setempat. Atas dasar pengertian ini, bentuk ekowisata pada dasarnya
merupakan bentuk gerakan konservasi yang dilakukan oleh penduduk dunia.
Eco-traveler ini pada hakekatnya
konservasionis (Machmud, 2010).
Definisi ekowisata yang pertama diperkenalkan oleh
organisasi The Ecotourism Society yaitu Ekowisata merupakan suatu bentuk
perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi
lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat.
Semula ekowisata dilakukan oleh wisatawan pecinta alam yang menginginkan di
daerah tujuan wisata tetap utuh dan lestari, disamping budaya dan kesejahteraan
masyarakatnya tetap terjaga (Ardiwidjaja, 2003).
Namun dalam perkembangannya ternyata bentuk
ekowisata ini berkembang karena banyak digemari oleh wisatawan. Wisatawan ingin
berkunjung ke area alami, yang dapat menciptakan kegiatan bisnis. Menurut
Eplerwood Ekowisata kemudian didefinisikan sebagai bentuk baru dari perjalanan
bertanggung jawab ke area alami dan berpetualang yang dapat menciptakan
industri pariwisata. Dari kedua definisi ini dapat dimengerti bahwa ekowisata dunia telah berkembang sangat
pesat. Ternyata beberapa destinasi dari taman nasional berhasil dalam
mengembangkan ekowisata ini.
Ekowisata dapat dijadikan sebagai ajang pendidikan
dan penyadaran bagi para wisatawan, masyarakat lokal serta stakeholder lain
yang terlibat tentang pentingnya lingkungan hidup, penghargaan konsep-konsep
preservasi dan konservasi terhadap lingkungan dan budaya lokal. Publikasi yang
dikeluarkan The International Ecotourism
Society (TIES) tahun 2007 menyebutkan bahwa pada tahun 2004 pertumbuhan ekowisata
secara global mencapai tiga kali lebih cepat dibandingkan industri pariwisata
lainnya. Ekowisata sebagai kegiatan yang terintegrasi merupakan keseimbangan
antara menikmati dan upaya mempertahankan keindahan alam dengan perlibatan dan
partisipasi masyarakat setempat dan wisatawan di dalamnya. Ekowisata dapat
dilihat sebagai suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang
bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya)
dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaannya (TIES dalam
Dirawan, 2003).
Sejak tahun 2002 pemerintah Indonesia secara
khusus telah mencanangkan konsep ekowisata dalam pembangunan pariwisata
berkelanjutan. Kebijakan pengembangan ekowisata merupakan bagian dari
pengembangan pemanfaatan keanekaragaman hayati nonekstratif, nonkonsumtif dan
berkelanjutan (Garis Besar Pedoman Pengembangan Ekowisata Indonesia, 1999).
Kebijakan pengembangan ekowisata di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan
kualitas lingkungan, mengembangkan tenaga kerja lokal dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat. Roby Ardiwidjaja (2003) mengatakan bahwa
pendekatan ekowisata dapat digunakan sebagai alat dalam kegiatan konservasi di
suatu daerah. Dari sisi ekonomi, ekowisata diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat lokal. Dari sisi lingkungan, ekowisata merupakan bentuk konservasi
lingkungan yang berbeda dan melibatkan wisatawan. Ekowisata berupaya
mengendalikan motif ekonomi ke arah pelestarian sumber daya alam yang dapat
menciptakan nilai tambah bagi masyarakat. Pengembangan ekowisata dapat menjadi
alternatif pengelolaan kawasan konservasi yang memperhatikan aspek lingkungan
dan ekonomi masyarakat setempat dalam upaya mencapai keberlanjutan wilayah.
Kebijakan pengembangan ekowisata harus dapat memperhatikan banyak sektor,
disiplin ilmu dan berorientasi pada research basedsehingga dapat mengakomodasi
kepentingan para pelaku dan sektor terkait secara terpadu, serta tidak bersifat
instant (Ardiwidjaja, 2003).
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Adapun simpulan yang diperoleh dari
pembahasan diatas yaitu :
1.
konservasi merupakan sebuah upaya untuk
menjaga, melestarikan, dan menerima perubahan dan/atau pembangunan menuju
pelestarian nilai dan warisan budaya yang lebih baik serta berkesinambungan.
Dengan kata lain bahwa dalam konsep konservasi terdapat alur memperbaharui
kembali (renew), memanfaatkan kembali
(reuse), mengurangi (reduce),
mendaur ulang kembali (recycle), dan
menguangkan kembali (refund).
2.
Ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan
wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan
melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat serta dapat
dijadikan sebagai ajang pendidikan dan penyadaran bagi para wisatawan,
masyarakat lokal, stakeholder dan yang lainnya yang terlibat tentang pentingnya
lingkungan hidup dan budaya lokal.
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan
dari penulisan paper ini yaitu :
1. Dalam upaya penerapan kawasan
konservasi hutan mangrove sebagai ekowisata sebaiknya selalu mempertimbangkan
semua aspek kehidupan masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial budaya dan
ekologi.
2. Dalam upaya pengelolaan sumberdaya
pesisir sebaiknya konsep alur konservasi seperti
memperbaharui kembali (renew), memanfaatkan
kembali (reuse), mengurangi (reduce),
mendaur ulang kembali (recycle), dan
menguangkan kembali (refund) selalu
digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Prianto,
A. 2008. Analisis Data Dengan Program
SPSS versi 15, Cetakan Pertama, Halaman 133 –
143, Intrans Publishing. Jombang, Jawa Timur
Saprizal,
M.. 2006. Analisa Pelayanan Terhadap
Kepuasan Konsumen Pada PT. Perusahaan Bongkar Muat Kutai Jaya Pundinusa
Samarinda. Tugas Akhir Mahasiswa Ekonomi Manajemen Universitas Widyagama
Mahakam, Samarinda
Wijayanti,
T.. 2007. Konservasi Hutan Mangrove
Sebagai Wisata Pendidikan. Tugas
Akhir Mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jawa Timur, Surabaya
Bengen,
DG. 2004. Pengenalan dan Pengelolaan
Ekosistem Mangrove. Pedoman Teknis. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan. IPB. Bogor.
Alvares.
2006. Kegiatan Budaya. IPB. Bogor.
Society.
2003. Ecotourism Statistical Fact Sheet.
Nort Bennington. USA.
Wahyudin,
Agus dan DYP Sugiharto (ed). 2010. Unnes
Sutera: Pergualatan Pikir SudijonoSastroatmodjo Membangun Sehat, Unggul,
Sejahtera. Semarang: Unnes Press.
Ardiwidjaja.
2003. Pembangunan Ekowisata. Fakultas
Kehutanan, Univ. Gadja Mada, Yogyakarta.
Machmud,Fn.
2010. Konservasi Hutan Mangrove Sebagai
Ekowisata. Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil Dan
Perencanaan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Surabaya
makasih kak lengkap banget infonya
BalasHapusseo search engine optimization