ABSTRAK
Rumput laut merupakan komoditi hasil perikanan
bukan ikan (non fishes). Nilai
permintaan pasar akan rumput laut, baik dari pasar dalam negeri maupun luar
negeri memiliki prospek cerah sebagai komoditas perdagangan pada pasar
internasional. Pulau Bali merupakan salah satu pulau
penghasil rumput laut di Indonesia. Produksi rumput laut di Bali pada 2008
turun 15,2% dibandingkan 2007. peneltian tentang pertumbuhan rumput laut guna
meningkatkan produksi rumput laut serta pemanfaatan lahan budidaya yang masih
belum optimal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa
besar perbedaan laju pertumbuhan rumput laut antara E. cottonii dengan E. spinosum. Penelitian ini akan dilaksanakan selama 3
(tiga) bulan di perairan Desa Kutuh, Kuta Selatan-Badung-Bali.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sample survey method atau
survey di lapangan. Data akan
dianalisis menggunakan uji T, selanjutnya dari hasil analisis tersebut
ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik serta keterangan diskriptif. Budidaya
rumput laut dilakukan dengan metode rakit lepas dasar (off bottom method) sebanyak 2 unit dengan ukuran rakit
masing-masing 5x2.5 meter. Jarak tanam masing-masing bibit yaitu 25 -30 cm.. Berat bibit Rumput laut E. cottonii
Rumput laut E. spinosum yaitu sebesar 100 gram. Waktu pemeliharaan selama 40 hari, dan pengambilan sampel
dilakukan setiap 10 hari sekali sebanyak 10 sampel rumput laut
Kata
Kunci : Laju Pertumbuhan, Rumput Laut, Euchema spinosum, Eucheuma cottoni
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rumput laut merupakan komoditi
hasil perikanan bukan ikan (non fishes). Rumput laut juga merupakan
komoditi ekspor hasil perikanan yang tingkat pengusahaannya masih tergolong
rendah dibandingkan dengan usaha budidaya udang, ikan maupun moluska. Budidaya
rumput laut memiliki peranan penting dalam usaha meningkatkan produksi
perikanan dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gizi serta memenuhi kebutuhan
pasar dalam negeri dan luar negeri, memperluas lapangan pekerjaan, meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan nelayan dan petani ikan serta menjaga kelestarian
sumber hayati perairan (Aslan, 2006).
Nilai permintaan pasar akan
rumput laut, baik dari pasar dalam negeri maupun luar negeri (Hongkong, Perancis,
Inggris, Kanada, Amerika Serikat, Jepang serta beberapa negara maju lainnya)
tampak jelas bahwa rumput laut memiliki prospek cerah sebagai komoditas perdagangan
pada pasar internasional. Permintaan
luar negeri terhadap rumput laut Indonesia pada tahun 1990 sebesar 10.779 ton
dengan total nilai US $ 7,16 juta yang terus meningkat hingga pernah mencapai
28.104 ton pada tahun 1995 dengan total nilai US$ 21,30 juta (Depertemen
kelautan dan perikanan, 2002 dalam Junaidi et.al, 2007). Kebutuhan rumput laut dunia untuk jenis-jenis yang mengandung caragenan mencapai
18.000-20.000 ton dan akan selalu meningkat 10% - 15% pertahun. Berdasarkan
perhitungan tim rumput laut BPPT menyatakaan bahwa kebutuhan caragenan
di dalam negeri akan terus meningkat 13% - 15% pertahun (Setyati 2003).
Data statistik produksi rumput
laut menurut provinsi utama (Riau, Bali, NTB, NTT, Sulut, Sulteng dan Sulsel)
dari tahun 1999 hingga 2003 yaitu 157.232 ton, 230.183 ton, 246.930 ton dan
285.654 ton dengan kenaikan rata-rata 17,26% (Depertemen kelautan dan perikanan,
2002 dalam Junaidi et.al, 2007). Sebagian rumput laut yang
sempat berhasil dipanen masih diekspor dalam bentuk mentah dengan nilai tambah
yang rendah, tanpa tersentuh teknologi yang tinggi sehingga menjadi produk yang
penting seperti ; alginat, karaginan, agar-agar dan lain sebagainya
(Winarno, 1996).
Pulau Bali
merupakan salah satu pulau penghasil rumput laut di Indonesia. Produksi rumput
laut di Bali pada 2008 turun 15,2% dibandingkan 2007. Produksi pada 2007
mencapai 152.226 ton, sementara 2008 hanya 129.095 ton atau turun 23.131 ton. Meski
dari produksi merosot, namun hasil penjualan menunjukkan peningkatan 77,31%
dari Rp 71 miliar tahun 2007 menjadi Rp126 miliar pada 2008. Bali memiliki potensi pengembangan rumput laut seluas
800 hektar dan baru dimanfaatkan 481 hektar atau 55%. Potensi tersebut tersebar
di perairan lima kabupaten yang meliputi Nusa Penida Kabupaten Karangasem,
Kabupaten Badung, Buleleng dan Kota Denpasar. Petani rumput laut di Bali terhimpun
dalam 109 kelompok beranggotakan 3.350 petani (Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Bali, 2009).
Salah satu sentra
budidaya rumput laut di Bali adalah di Desa Kutuh Kecamatan Kuta Selatan,
Kabupaten Badung, dari data tersebut diatas peneliti memandang perlu untuk
dilakukan peneltian tentang pertumbuhan rumput laut guna meningkatkan produksi
rumput laut serta pemanfaatan lahan budidaya yang masih belum optimal.
1.2.PERUMUSAN MASALAH
Terdapat dua spesies yang dibudidayakan dilokasi yang sama diperairan Desa
Kutuh, yaitu E. cottonii dan E. spinosum. Apabila dibudidayakan pada metode dengan kondisi yang
sama, kedua spesies tersebut masing-masing mempunyai kelebihan. E. cottonii tahan
terhadap ombak besar yang kecepatan arusnya berkisar antara 20-40 cm/dt. Sedangkan
E. spinosum tahan terhadap salinitas tinggi yang berkisar antara 28-33
per mil. Tetapi selama ini belum diketahui spesies mana yang mempunyai laju
pertumbuhan yang lebih baik. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui laju pertumbuhan antara E.
cottonii dan E. spinosum yang
hidup pada perairan yang sama.
1.3.TUJUAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan penelitian ini adalah untuk mengetahui
seberapa besar perbedaan laju pertumbuhan rumput laut antara E. cottonii dengan E. spinosum diperairan
Desa Kutuh, Kuta Selatan Kabupaten Badung-Bali
1.4.MANFAAT
Dengan diketahuinya laju
pertumbuhan E. cottonii dan E. spinosum maka dapat memberikan
gambaran dalam produktivitas pada masing-masing spesies, sehingga produksi
rumput laut dapat ditingkatkan untuk mempercepat target pemerintah mengenai
ekspor rumput laut di Indonesia.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi Rumput Laut
Secara morfologis rumput laut
merupakan tanaman laut yang berklorofil dan berthallus, artinya tidak jelas
perbedaan antara akar, batang dan daun. Perbedaan rumput laut jenis satu dengan jenis yang lainnya terletak pada
thallusnya. Berupa bulat, pipih, gepeng, dan juga berbentuk seperti helai rambut,
susunan thallus ada yang uniseluler (sel satu) atau multi seluler (banyak sel).
Thallus ini bisa bercabang dua, berderet searah pada satu sisi thallus utama,
bercabang dua-dua sepanjang thallus utama secara selang-seling (Santosa, 2003).
Keanekaragaman jenis rumput
laut di perairan Indonesia cukup tinggi, tetapi pada saat ini baru dikenal lima
jenis yang bernilai ekspor tinggi, yaitu adalah Gelidium, Gelidiella,
Hypnea, Eucheuma, dan Gracilaria. Dua jenis diantaranya sudah
dibudidayakan dan berkembang di masyarakat, yaitu Eucheuma dan Gracilaria.
Daerah budidaya rumput laut di Indonesia yang membudidayakan jenis Eucheuma
dan Gracilaria adalah Kepulauan Riau, Lampung, Kepulaun Seribu, Bali,
Lombok, Flores, Sumba, Sulawesi, dan Madura (Sediadi dan Budihardjo, 2000).
Rumput laut termasuk golongan
alga yaitu kelompok tumbuh-tumbuhan berchlorofil yang terdiri dari satu atau
banyak sel, berbentuk koloni, hidup diperairan yang dangkal, dengan dasar
perairannya berpasir, berlumpur atau pasir. Rumput laut biasa hidup di daerah
pasang surut yang perairannya jernih, dan menempel pada karang yang mati,
potongan karang atau substrat lainnya baik yang berbentuk secara alamiah maupun
buatan (Afrianto dan Liviawati, 1993).
2.1.1. Klasifikasi Rumput Laut
Rumput laut ini tergolong alga
yang dikelompokkan menjadi empat kelas, yaitu alga hijau (Chlorophyceae),
alga hijau-biru (Cyanophyceae), alga coklat (Phaecophyceae) dan
alga merah (Rhodophyceae) (Winarno, 1996). Keempat kelas tersebut yang
membedakan adalah pigmennya, Rhodophyceae memiliki pigmen fikobilin
yang terdiri fikoeritrin (berwarna merah) dan fikosianin
(berwarna biru). Selain itu, Rhodophyceae bersifat adaptasi kromatik,
yaitu memiliki penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas
pencahayaan dan dapat menimbulkan berbagai warna pada thallus seperti :
merah tua, merah muda, pirang, coklat, kuning dan hijau. Spesies dari divisi
ini yang mempunyai nilai ekonomis adalah dari marga Gracilaria,
Gelidium, Hypnea, Gigartina, Rhodymenia dan Eucheuma sebagai
penghasil ekstrak caragenan, foodstuff
dan penghasil agar-agar. Menurut Suptijah (2002), marga Eucheuma terdiri dari dua spesies yaitu Eucheuma
spinosum dan Eucheuma cottonii yang mempunyai ciri-ciri :
·
Thallus (kerangka tubuh tanaman) bulat silindris atau gepeng
·
Berwarna merah,
merah-coklat , hijau-kuning dan sebagainya
·
Bercabang berselang
tidak teratur, di atau trikotomous.
·
Memiliki
benjolan-benjolan (blunt nodule) dan duri-duri atau spines
·
Substansi thallus
“gelatinus” dan/atau “kartilagenus” (lunak seperti tulang rawan)
Rumput laut yang mengandung
karaginan adalah dari marga Eucheuma. Karaginan ada tiga macam, yaitu iota-karaginan
dikenal dengan tipe spinosum, kappa karaginan dikenal
dengan tipe cottonii dan lambda karaginan. Ketiga macam karaginan
ini dibedakan karena sifat jelly yang terbentuk. Iota-karaginan berupa
jelly lembut dan fleksibel atau lunak. Kappa karaginan jeli bersifat kaku dan
getas serta keras. Lambda karaginan tidak dapat membentuk jeli, tetapi
berbentuk cair yang viscous.
Klasifikasi
rumput laut Eucheuma cottonii menurut Indriani dan Sumiarsih (2003)
adalah :
Phylum : Thallophyta
Class : Rhodophceae
Subclass : Florideophyceae
Ordo : Gigartirales
Familia : Soilireaceae
Genus : Eucheuma
Species : Eucheuma cottonii
E. cottonii merupakan alga dari divisi Rhodopyta (alga
merah) yang memiliki thali (kerangka tubuh tanaman) berbentuk bulat silindris
atau gepeng. Thalli tersebut
berwarna merah, merah coklat, hijau kekuningan, bercabang tidak teratur
(di-trikotomus), terdapat benjolan (blue nodule) dan duri (spines).
Sifat substansi thalli juga beraneka ragam, ada yang lunak seperti gelatin (gellatinous),
keras diliputi atau mengandung zat kapur (calcareous), lunak seperti
tulang rawan (cartilagenous) dan berserabut (spongious) (Aslan,
2006).
Rumput
laut Eucheuma spinosum pertama kali dipublikasikan pada tahun 1768 oleh
Burman dengan nama Fucus denticulatus.
Burma, kemudian pada tahun 1822 C. Agardh memperkenalkannya dengan nama Sphaerococus
isiformis C. Agardh, selanjutnya pada tahun 1847 J. Agardh
memperkenalkannya dengan nama Eucheuma J. Agardh. (Anonymous, 2007).
Klasifikasi Eucheuma
spinosum sebagai berikut;
Kingdom Divisi : Thallophyta
Class : Rhodophyceae
Subclass : Florideophyceae
Ordo : Gigartirales
Familia : Soilireaceae
Genus : Eucheuma
Species : Eucheuma spinosum
E. spinosum mempunyai thallus silindris, permukaan licin,
cartilagenous, warna coklat tua, hijau kuning atau merah ungu. Ciri khusus secara morfologis memiliki duri yang
tumbuh berderet melingkari thallus
dengan interval yang bervariasi sehingga membentuk ruas-ruas thallus diantara
lingkaran duri. Percabangan
berlawanan atau berselang seling dan timbul teratur pada deretan duri antar
ruas dan merupakan kepanjangan dari duri tersebut. Cabang dan duri ada juga
yang tumbuh pada ruas thallus tetapi agak pendek. Ujung percabangan meruncing
dan setiap percabangan mudah melekat pada substrat yang merupakan ciri khas E.
Spinosum (Aslan 2006).
Pigmentasi merupakan salah
satu cara untuk mengidentifikasi rumput laut. Pigmen ini terdapat pada thallus dan perbedaan
pigmen akan menentukan warna thallus yang ada dalam kelas seperti alga hijau,
alga coklat, alga merah, dan alga biru. Satu kelas misalnya alga merah, warna
thallus yang muncul tidak selalu hanya merah tetapi ada yang hijau
kekuning-kuningan, coklat kehitam-hitaman atau kuning kecoklat-coklatan. Hal
ini disebabkan oleh perbedaan lingkungan hidupnya yang berbeda dan berubah-ubah
akibat fenomena Hidro-Oceanografis (Indriani dan Sumiarsih, 2003).
2.1.2. Habitat dan Penyebarannya
Habitat rumput laut Eucheuma
cottonii adalah daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap. E.
cottonii umumnya terdapat di daerah pasang surut (intertidal) atau
pada daerah yang selalu terendam air (subtidal). Melekat pada substrat
di dasar perairan yang berupa karang batu mati, karang batu hidup, batu gamping
atau cangkang moluska, umumnya E. cottonii tumbuh dengan baik di daerah
pantai terumbu (reef), karena di tempat tersebut beberapa persyaratan
untuk pertumbuhannya banyak terpenuhi, diantaranya faktor suhu perairan,
substrat dan gerakan air. E. cottonii lebih
bagus dengan suhu harian antara 25-300C dalam
proses pertumbuhannya. Alga ini tumbuh mengelompok dengan berbagai jenis rumput
laut lainnya yang memiliki keuntungan dalam hal penyebaran spora (Aslan, 2006).
Pada E. Spinosum, algae ini tumbuh
tersebar di perairan Indonesia pada tempat-tempat yang sesuai dengan
persyaratan tumbuhnya, antara lain substrat batu, air jernih, ada arus atau
terkenan gerakan air lainnya, kadar garam antara 28-36 per mil dan cukup sinar
matahari (Nazam, 2004).
2.1.3. Sistem Reproduksi Rumput Laut
Pembiakan rumput laut berbeda
dengan tanaman tingkat tinggi (tanaman berbunga) yang biasanya hidup di pantai
(Aslan, 2006). Pada tanaman
rumput laut terdapat dua macam sistem reproduksi yaitu :
A.
Reproduksi Seksual
Reproduksi seksual lebih rumit
daripada aseksual. Tanaman rumput laut yang diploid (2n) dihasilkan spora-spora
yang haploid (n). Spora-spora ini kemudian akan tumbuh menjadi dua jenis rumput
laut, yaitu rumput laut jantan dan rumput laut betina yang masing-masing
bersifat haploid (n). Rumput laut jantan akan menghasilkan spermatium, yaitu
sel kelamin jantan yang bersifat haploid (n). Rumput laut betina akan
menghasilkan sel telur yang juga bersifat haploid (n). Apabila terjadi pertemuan
antara dua gamet (jantan dan betina) akan ditandai dengan terbentuknya zigot
yang bersifat diploid (2n). Zigot ini kemudian akan tumbuh kembali menjadi
tanaman rumput laut yang bersifat diploid (2n) (Afrianto dan Liviawati, 1993).
B.
Reproduksi Aseksual
Reproduksi aseksual terjadi secara sederhana, karena tanpa didahului
dengan pembentukan tanaman yang haploid (n) maupun perkawinan.
Setiap bagian tanaman rumput laut yang dipotong dapat tumbuh menjadi rumput
laut muda yang mempunyai sifat seperti induknya (2n).
2.2.
Budidaya Rumput Laut
Kebutuhan rumput laut yang
semakin meningkat, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun luar
negeri, sekaligus memperbesar devisa negara dan sektor nonmigas. Maka cara
terbaik untuk tidak menggantungkan persediaan dari alam adalah dengan budidaya
rumput laut, baik secara ekstensif maupun secara intensif dengan menggunakan
lahan yang ada (Anugrah, 1990).
Dalam hal ini, dari rumpun thalli alga, dibuat potongan dengan ukuran
tertentu (30-150 gram) untuk dijadikan bibit. Bibit ini ditanam dengan cara
mengikatnya pada tali nilon maupun rakit di atas perairan dengan jarak tanam 20
cm. Pertumbuhannya dapat dilihat dengan
bertambah besarnya bibit tersebut (Afrianto dan Liviawati, 1993). Menurut
Winarno (1996), bahwa sebagian besar rumput laut Indonesia masih merupakan
hasil panen alami, oleh karena itu mutu, jumlah
dan kesinambungan produksinya masih belum menentu. Mengatasi masalah tersebut
perlu dilakukan usaha pembudidayaan.
Budidaya rumput laut secara
umum di perairan pantai amat cocok diterapkan pada daerah yang memiliki lahan
tanah sedikit (sempit) serta penduduk padat. Sehingga diharapkan pembukaan
lahan budidaya rumput laut di perairan
tersebut menjadi salah satu alternatif terbaik untuk membantu mengatasi lapangan
kerja yang makin kecil (Aslan, 2006).
Metode rakit lepas dasar cocok
diterapkan pada perairan berkarang dimana pergerakan airnya didominasi oleh
ombak. Penanaman dilakukan dengan menggunakan rakit dari bambu/kayu. Ukuran
setiap rakit sangat bervariasi tergantung pada ketersediaan material. Ukuran
rakit dapat disesuaikan dengan kondisi perairan tetapi pada prinsipnya ukuran
rakit yang dibuat tidak terlalu besar untuk mempermudah perawatan rumput laut
yang ditanam (Anggadiredja, 2006).
Menurut laporan Anggadiredja (2006), keberhasilan budidaya rumput
laut sangat ditentukan sejak penentuan lokasi. Hal ini dikarenakan produksi dan
kualitas rumput laut dipengaruhi oleh faktor-faktor ekologi yang meliputi
kondisi substrat perairan, metode budidaya, suhu, arus, salinitas, kecerahan, penyediaan bibit, penanaman bibit, perawatan selama
pemeliharaan, hama dan penyakit.
2.3.
Parameter Oseanografi
Faktor-
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut ditinjau dari segi oseanografi
menurut Soenardjo, (2003) yaitu:
A. Dasar perairan
Kondisi perairan yang paling
baik bagi pertumbuhan Eucheuma sp adalah yang memiliki dasar perairan
yang stabil yang terdiri dari potongan-potongan karang yang mati dan bercampur
dengan pasir karang.
B. Kedalaman air
Eucheuma sp secara alami didapati hidup dan tumbuh
dengan baik pada kedalaman air 10-30 cm pada surut terendah.
C. Salinitas
Eucheuma sp tumbuh pada salinitas yang tinggi.
Penurunan salinitas akibat masuknya air tawar akan menyebabkan pertumbuhan Eucheuma
sp menjadi tidak normal. Namun sebaiknya lokasi budidaya terletak jauh dari
mulut muara sungai yang debit airnya besar. Hal tersebut berguna untuk menghindari
adanya endapan lumpur. Salinitas untuk pertumbuhan optimal Eucheuma sp sekitar
28-34 permil dengan nilai optimum salinitas 33 permil.
D. Suhu
Suhu air laut yang baik untuk
budidaya Eucheuma sp berkisar antara 27o-30oC,
Kenaikan temperatur yang tinggi akan mengakibatkan thallus rumput laut yang
menjadi pucat kekuning-kuningan dan tidak sehat.
E. Kejernihan air
Budidaya
rumput laut dengan tingkat kejernihan air yang tinggi sangat dibutuhkan,
sehingga cahaya dapat masuk ke dalam air. Intensitas sinar yang diterima secara
sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis. Kondisi
air yang jernih dengan tingkat transparansi sekitar 1,5 meter cukup baik bagi
pertumbuhan rumput laut.
F. pH
Rumput laut umumnya tumbuh
pada pH optimal bagi pertumbuhan Eucheuma sp antara 7,5-8,0.
H. Angin dan Arus
Kesuburan lokasi tanaman
sangat ditentukan oleh adanya gerakan air yang berombak maupun arus. Gerakan
air ini merupakan pengangkut yang paling baik untuk zat makanan yang diperlukan
bagi pertumbuhan rumput laut. Ombak dan arus merupakan alat pengaduk yang baik
sehingga air menjadi homogen.
Arus dapat mengatasi kenaikan
temperatur air laut yang tajam. Kecepatan arus yang dianggap cukup untuk
budidaya rumput laut kira-kira 20-40 cm per detik. Untuk pertumbuhannya, Eucheuma
sp membutuhkan gerakan air yang berupa ombak yang dominan sepanjang tahun.
Suatu perairan yang mempunyai cukup gerakan air ditandai oleh terdapatnya
karang lunak (soft coral) dan juga ditandai oleh kondisi daun (Thalasia,
Euchallis) yang bebas dari debu air 9 (silt) (Winarno, 1996)
Laju pertumbuhan per hari
sangat ditentukan oleh sesuai atau tidaknya perairan tersebut bagi kehidupan
tanaman. Salah satu faktor terpenting adalah cukup kuat tidaknya gerakan
air/arus yang berfungsi sebagai pembawa makanan/zat hara tanaman. Kondisi perairan
yang optimum untuk budidaya E. spinosum adalah kecepatan air sekitar
20-40 cm per detik, dasar perairan cukup keras tidak berlumpur, kisaran
salinitas 28-34 ppt (optimum 33 ppt), suhu air berkisar 20-28oC
dengan fluktuasi harian maksimal 4oC, kecerahan tidak kurang dari 5
m, pH antara 7,3 - 8,2 (Nazam,
2004).
Lokasi budidaya hendaknya
dipilih perairan yang terlindung, namun masih memiliki pergerakan air yang
baik. Sehingga dengan adanya pergerakan air, hara dalam air dapat selalu
bergerak dan menyebar sehingga dapat diharapkan menjadi hara bagi pertumbuhan
rumput laut. Persyaratan hara yang diperlukan (fosfat dan nitrat) biasanya
sulit diperkirakan dan ditentukan. Hendaknya dipilih perairan yang bebas polusi,
baik polusi oleh limbah domestik (rumah tangga) maupun limbah dari industri.
Adanya polusi logam berat seperti merkuri (Hg), akan banyak meningkatkan biaya
produksi dan pembersihan. Persyaratan umum lainnya adalah perairan harus bersih dan jernih
karena perlu untuk fotosintesis tanaman. Daerah budidaya hendaknya dipilih
daerah yang terpencil dan mudah dicapai dengan transportasi yang ada (Winarno,
1996).
Persyaratan hidup yang
dikaitkan dengan habitat masing-masing jenisnya adalah sebagai berikut, jenis Eucheuma
hidup menempel pada dasar perairan karang (coral reef). Apabila polutan
yang mencemari perairan ternyata mengganggu pertumbuhan, maka budidaya dapat
mengalami kegagalan. Beberapa jenis logam berat seperti merkuri (Hg) dan timbal
(Pb) dapat terakumulasi di dalam tanaman tanpa membahayakan tanaman. Namun
demikian, bila produk rumput laut tersebut kelak digunakan
untuk bahan mentah industri pangan, minuman, farmasi dan kosmetika, maka
hal ini akan membahayakan konsumen. Karenanya perlu pengolahan khusus yang
biayanya relative lebih mahal (Departemen Pertanian, 1992).
2.4. Pertumbuhan Rumput Laut
Menurut Effendi
(1997) dalam Bambang (2006), pertumbuhan merupakan salah satu aspek
biologi yang harus diperhatikan dalam usaha budidaya rumput laut, sedangkan
laju pertumbuhan yang dianggap menguntungkan adalah diatas 3% pertambahan berat
perhari. Pertumbuhan rumput laut dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang
bersifat internal maupun eksternal. Faktor internal yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan antara lain jenis rumput laut, galur, bagian thallus dan umur
rumput laut yang akan dibudidayakan. Dan faktor eksternal yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan antara lain keadaan lingkungan fisika dan kimiawi yang
dapat berubah menurut ruang dan waktu, penanganan bibit, perawatan tanaman dan
metode budidaya yang digunakan. Pertumbuhan rumput laut dapat digambarkan dalam
2 bentuk yaitu pertumbuhan harian dan pertumbuhan mutlak.
1.
Pertumbuhan Mutlak
Kecepatan pertumbuhan mutlak ialah pertumbuhan ukuran baik berat dan
panjang yang sebenarnya dalam waktu 40 hari/ sampai panen (Effendi, 1997) dalam
Bambang (2006).
2. Pertumbuhan Harian
Pertumbuhan harian ialah pertumbuhan ukuran baik berat dan panjang yang
sebenarnya dalam waktu tertentu (Effendi, 1997) dalam Bambang (2006).
Menurut Trono
(1974), apabila arus yang diperoleh sama pada tiap bagian tali rentang, maka
kesempatan untuk bertumbuh akan sama baik untuk thallus yang berada di
bagian tepi maupun thallus yang berada di bagian tengah. Sehingga dengan demikian pertumbuhan thallus
rumput laut relatif seragam dalam satu unit rakit tali rentang.
III.
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini akan dilaksanakan
selama 3 (tiga) bulan di perairan Desa Kutuh, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten
Badung, Bali. Lokasi penelitian merupakan sentra budidaya rumput laut yang ada
di Kabupaten Badung.
3.2.
Alat Dan Bahan
A.
Alat
·
Rakit
rumput laut yang terbuat dari bambu dan berbentuk segi empat yang berukuran
dengan panjang 5 m dan lebar 2.5 cm, yang berfungsi sebagai tempat atau menanam
rumput laut.
·
Thermometer
digunakan sebagai pengukur suhu pada perairan.
·
pH
meter mengukur keasaman air laut
·
Sechidisk
untuk mengukur kedalaman perairan.
·
Bola
duga mengukur kecepatan arus atau gelombang
·
Refraktometer
untuk mengukur salinitas perairan
·
Timbangan
fungsinya untuk mengukur sampel rumput laut.
B.
Bahan
·
Rumput laut E. cottonii yang dipakai
yaitu rumput laut berkualitas tinggi, segar, bercabang banyak, mempunyai batang
lebih tebal dan berat.
·
Rumput laut E. spinosum yang dipakai
yaitu rumput laut berkualitas tinggi segar, bercabang banyak dan masih muda.
3.3.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sample survey
method atau survey di lapangan. Sampel survey method adalah pengambilan
data dengan cara mencatat data mengenai situasi dan kejadian pada waktu dan
tempat serta populasi yang terbatas, sehingga memberikan gambaran tentang
situasi dan kondisi lokal (Hadi,1986). Metode survey merupakan metode yang
cenderung untuk meneliti sejumlah kecil variable pada unit sampel yang besar.
Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling adalah metode sampling
pertimbangan, yaitu metode pengambilan lokasi dan sampel didasarkan atas adanya
tujuan tertentu dengan berbagai pertimbangan (Arikunto, 1993).
Data akan dianalisis
menggunakan uji T, selanjutnya dari hasil analisis tersebut ditampilkan dalam
bentuk tabel dan grafik serta keterangan diskriptif.
Budidaya rumput laut dilakukan
dengan metode rakit lepas dasar (off
bottom method) sebanyak 2 unit dengan ukuran rakit masing-masing 5x2.5 meter.
Jarak tanam masing-masing bibit yaitu 25 -30 cm. Jenis rumput laut yang
digunakan yaitu Eucheuma cottoni dan Eucheuma spinosum. Berat bibit Rumput laut E. cottonii Rumput
laut E. spinosum yaitu sebesar 100 gram. Waktu pemeliharaan selama 40 hari, dan pengambilan sampel
dilakukan setiap 10 hari sekali sebanyak 10 sampel rumput laut.
3.3.1. Parameter Utama
Penghitungan pertumbuhan mutlak dilakukan dengan menggunakan menggunakan
rumus mutlak, standar dan rata-rata pertumbuhan harian menurut Effendi, (1997).
1. Pertumbuhan Mutlak
Keterangan
:
G : Pertumbuhan mutlak
Gr : Laju Pertumbuhan harian
Wt : bobot pada waktu pengamatan (gram)
Wo : Bobot Awal (gram)
t : waktu
(hari)
2.
Pertumbuhan Standar
Keterangan:
SGR : Laju Pertumbuhan Standar (%)
lnwt : Berat
akhir Rumput Laut (gram)
lnwo : Berat Awal Rumput Laut (gram)
t : waktu (hari)
3.
Rata-Rata Pertumbuhan Harian
Keterangan :
ADG : Pertumbuhan Harian (%)
Wt : Bobot Setelah t hari (gram)
Wo : Bobot Awal (gram)
t :
waktu (hari)
3.3.2.
Parameter Penunjang
a.
Suhu
Suhu permukaan air diukur dengan
menggunakan thermometer analog, yaitu dicelupkan sekitar 50 cm dari permukaan
air.
b. pH
Cara praktis mengukur pH adalah menggunakan pH pen yaitu menghidupkannya
dan mencelupkan ke perairan kemudian mencatat hasilnya (berupa angka).
c.
Kecepatan arus
Dilakukan dengan menggunakan bola
duga yang diberi benang 1 meter kemudian
dilepas diperairan menggunakan timer/stopwatch (Bambang, 2006 dalam Alaerts dan Santika, 1984).
d.
Salinitas
Meneteskan satu tetes air laut pada prisma refraktometer, kemudian melihat
angka yang tertera pada bagian eye piece dan akan tertera nilai
salinitasnya serta mencatat nilai hasil pengamatan.
e.
Kecerahan
Secara perlahan-lahan sechi disk dimasukkan dalam air hingga batas
kelihatan dan dicatat kedalamannya. Kemudian sechi disk diturunkan sampai tidak
kelihatan, kemudian pelan-pelan ditarik sampai nampak lagi dan dicatat
kedalamannya. Data yang diperoleh dimasukkan dalam rumus : Kecerahan = (Kedalaman 1 - Kedalaman 2) / 2 (Bambang, 2006 dalam Alaerts dan Santika, 1984)..
3.4. Tahap Pelaksanaan Penelitian
a.
Seleksi Bibit
Bibit yang dipilih untuk budidaya
yaitu rumput laut yang kualitasnya bagus dan bercabang banyak atau yang masih
muda, baik bibit E. cottoni maupun E. spinosum. Bibit yang
ditanam adalah tallus rumput laut yang sudah dipotong.
b.
Penanaman
Penanaman rumput laut Eucheuma sp. yaitu pengikatan bibit pada tali
tanam kemudian tali bentang diikat pada rakit. Lokasi yang akan digunakan dalam
budidaya berjarak kurang lebih 150 m dari bibir pantai. Metode yang
digunakan adalah metode rakit apung.
c.
Pemeliharaan
Pemeliharaan rumput laut seminggu
setelah penanaman, bibit yang ditanam harus diperiksa dan dipelihara dengan
baik melalui pengawasan yang teratur atau secara terus-menerus selama 40 hari,
untuk mengantisipasi adanya tallus yang rontok atau ada rakit yang rusak.
d.
Pengambilan sampel dan pengumpulan data
Pengambilan sampel dengan cara
rumput laut yang akan dijadikan sample pertama masing-masing sampel ditandai
dengan menggunakan nomer, cara pengambilan sampel rumput laut dilepas dari tali
tanam dengan tali yang bisa di buka pasang. Sampel yang akan diambil yang akan
ditimbang sebanyak 10 sampel dangan 10 kali ulangan dari masing-masing spesies
hingga waktu panen dengan renggang waktu pemliharaan selama 40 hari.
3.5. Analisa data
Deny (2007) menjelaskan bahwa
Uji-t (t-test) merupakan statistik uji yang sering kali ditemui dalam
masalah-masalah praktis statistika. Uji-t termasuk dalam golongan statistika
parametrik. Statistik uji ini digunakan dalam pengujian hipotesis. Uji-t
digunakan ketika informasi mengenai nilai variance (ragam) populasi tidak
diketahui. Uji-t dapat dibagi menjadi 2, yaitu uji-t yang digunakan untuk
pengujian hipotesis 1-sampel dan uji-t yang digunakan untuk pengujian hipotesis
2-sampel.
3.6. Jadwal Kegiatan
Penelitian
No
|
Jenis Kegiatan
|
Bulan Ke 1
|
Bulan Ke 2
|
Bulan Ke 3
|
|||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
||
1
|
Persiapan Proposal Penelitian
|
||||||||||||
2
|
Survey Lokasi Penelitian
|
||||||||||||
3
|
Persiapan Alat dan Bahan Penelitian
|
||||||||||||
4
|
Penanaman Rumput laut
|
||||||||||||
5
|
Pengambilan Data Penelitian
|
||||||||||||
6
|
Penyusunan Laporan Kemajuan
|
||||||||||||
7
|
Penyusunan Laporan Akhir
|
||||||||||||
8
|
Seminar Hasil Penelitian
|
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto dan
Liviawati, 1993. Budidaya Rumput Laut dan Cara Pengolahannya. Bharata: Jakarta
Anggadiredja, J, T., 2006. Rumput Laut. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Arikunto,
S. 1993. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek. Rineka Cipta Jakarta.
Aslan, L.
M., 2006. Budidaya Rumput Laut. Kanisius . Yogyakarta.
Anugarah, 1990.
Potensi dan Pengembangan Budidaya Perairan
di Indonesia. Lembaga penelitian Indonesia. Jakarta.
Bambang, D.,
2006. Kajian Parameter Oceanografi Terhadap Pertumbuhan Rumput Laut (Eucheuma cottonii) di Perairan
Bluto Sumenep Jawa Timur. Universitas Trunujoyo Bangkalan Madura.
Deny, 2007. Uji Statistika (Speak With Date).
Forum Statistika Jakarta.
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
Bali, 2009. Produksi Rumput Laut di Bali turusn 15,2%. http://www.kabarbisnis.com/read/282238.
Depertemen Pertanian,
1992. Budidaya Beberapa Hasil Rumput Laut. Departemen Pertanian. Jakarta.
Hadi,
S. 1986. Metodology Research I.
Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi, UGM. Yogyakarta.
Indriani, H.,
dan Sumiarsih, E., 2003. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput Laut
(cetakan 7) Penebar Swadaya,
Jakarta.
Nazam, M. P. dan A. Surahman, 2004. Dampak
Pengkajian Budidaya Rumput Laut di Nusa
Tenggara Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB.
Santosa,
G.W. 2003. Budidaya Rumput Laut di Tambak. Program Community College. Industri
kelautan dan perikanan. Universitas Diponegoro. Semarang.
Sediadi dan
Budihardjo., 2000. Rumput Laut Komuditas Unggulan. Grasindo Jakarta.
Setyati, A. W.,
2003. Pemasaran Budidaya Rumput Laut. Program Community College.
Industri Kelautan dan Perikanan. Universitas Diponegoro Semarang. Semarang.
Soenardjo N.,
2003. Membudidayakan Rumput laut, Balai Pustaka Semarang.
Suptijah,
2002. Rumput Laut. http:// www.rumput laut /com. Institut pertanian Bogor.
Bogor.
Winarno, 1996. Teknik Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.