Jumat, 18 Oktober 2013

STUDI LAJU PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT Euchema spinosum DAN Eucheuma cottoni DI PERAIRAN DESA KUTUH, KECAMATAN KUTA SELATAN, KABUPATEN BADUNG-BALI

ABSTRAK


Rumput laut merupakan komoditi hasil perikanan bukan ikan (non fishes). Nilai permintaan pasar akan rumput laut, baik dari pasar dalam negeri maupun luar negeri memiliki prospek cerah sebagai komoditas perdagangan pada pasar internasional. Pulau Bali merupakan salah satu pulau penghasil rumput laut di Indonesia. Produksi rumput laut di Bali pada 2008 turun 15,2% dibandingkan 2007. peneltian tentang pertumbuhan rumput laut guna meningkatkan produksi rumput laut serta pemanfaatan lahan budidaya yang masih belum optimal. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar perbedaan laju pertumbuhan rumput laut antara  E. cottonii dengan E. spinosum. Penelitian ini akan dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan di perairan Desa Kutuh, Kuta Selatan-Badung-Bali.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sample survey method atau survey di lapangan. Data akan dianalisis menggunakan uji T, selanjutnya dari hasil analisis tersebut ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik serta keterangan diskriptif. Budidaya rumput laut dilakukan dengan metode rakit lepas dasar (off bottom method) sebanyak 2 unit dengan ukuran rakit masing-masing 5x2.5 meter. Jarak tanam masing-masing bibit yaitu 25 -30 cm.. Berat bibit Rumput laut E. cottonii Rumput laut E. spinosum yaitu sebesar 100 gram. Waktu  pemeliharaan  selama 40 hari, dan pengambilan sampel dilakukan setiap 10 hari sekali sebanyak 10 sampel rumput laut

Kata Kunci : Laju Pertumbuhan, Rumput Laut,  Euchema spinosum, Eucheuma cottoni



I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rumput laut merupakan komoditi hasil perikanan bukan ikan (non fishes). Rumput laut juga merupakan komoditi ekspor hasil perikanan yang tingkat pengusahaannya masih tergolong rendah dibandingkan dengan usaha budidaya udang, ikan maupun moluska. Budidaya rumput laut memiliki peranan penting dalam usaha meningkatkan produksi perikanan dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gizi serta memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dan luar negeri, memperluas lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan dan petani ikan serta menjaga kelestarian sumber hayati perairan (Aslan, 2006).
Nilai permintaan pasar akan rumput laut, baik dari pasar dalam negeri maupun luar negeri (Hongkong, Perancis, Inggris, Kanada, Amerika Serikat, Jepang serta beberapa negara maju lainnya) tampak jelas bahwa rumput laut memiliki prospek cerah sebagai komoditas perdagangan pada pasar internasional. Permintaan luar negeri terhadap rumput laut Indonesia pada tahun 1990 sebesar 10.779 ton dengan total nilai US $ 7,16 juta yang terus meningkat hingga pernah mencapai 28.104 ton pada tahun 1995 dengan total nilai US$ 21,30 juta (Depertemen kelautan dan perikanan, 2002 dalam Junaidi et.al, 2007). Kebutuhan rumput laut dunia untuk jenis-jenis yang mengandung caragenan mencapai 18.000-20.000 ton dan akan selalu meningkat 10% - 15% pertahun. Berdasarkan perhitungan tim rumput laut BPPT menyatakaan bahwa kebutuhan caragenan di dalam negeri akan terus meningkat 13% - 15% pertahun (Setyati 2003).
Data statistik produksi rumput laut menurut provinsi utama (Riau, Bali, NTB, NTT, Sulut, Sulteng dan Sulsel) dari tahun 1999 hingga 2003 yaitu 157.232 ton, 230.183 ton, 246.930 ton dan 285.654 ton dengan kenaikan rata-rata 17,26% (Depertemen kelautan dan perikanan, 2002 dalam Junaidi et.al, 2007). Sebagian rumput laut yang sempat berhasil dipanen masih diekspor dalam bentuk mentah dengan nilai tambah yang rendah, tanpa tersentuh teknologi yang tinggi sehingga menjadi produk yang penting seperti ; alginat, karaginan, agar-agar dan lain sebagainya (Winarno, 1996).
Pulau Bali merupakan salah satu pulau penghasil rumput laut di Indonesia. Produksi rumput laut di Bali pada 2008 turun 15,2% dibandingkan 2007. Produksi pada 2007 mencapai 152.226 ton, sementara 2008 hanya 129.095 ton atau turun 23.131 ton. Meski dari produksi merosot, namun hasil penjualan menunjukkan peningkatan 77,31% dari Rp 71 miliar tahun 2007 menjadi Rp126 miliar pada 2008. Bali memiliki potensi pengembangan rumput laut seluas 800 hektar dan baru dimanfaatkan 481 hektar atau 55%. Potensi tersebut tersebar di perairan lima kabupaten yang meliputi Nusa Penida Kabupaten Karangasem, Kabupaten Badung, Buleleng dan Kota Denpasar. Petani rumput laut di Bali terhimpun dalam 109 kelompok beranggotakan 3.350 petani (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, 2009).
Salah satu sentra budidaya rumput laut di Bali adalah di Desa Kutuh Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, dari data tersebut diatas peneliti memandang perlu untuk dilakukan peneltian tentang pertumbuhan rumput laut guna meningkatkan produksi rumput laut serta pemanfaatan lahan budidaya yang masih belum optimal.

1.2.PERUMUSAN MASALAH
Terdapat dua spesies yang  dibudidayakan dilokasi yang sama diperairan Desa Kutuh, yaitu E. cottonii dan E. spinosum. Apabila  dibudidayakan pada metode dengan kondisi yang sama, kedua spesies tersebut masing-masing mempunyai kelebihan. E. cottonii tahan terhadap ombak besar yang kecepatan arusnya berkisar antara 20-40 cm/dt. Sedangkan E. spinosum tahan terhadap salinitas tinggi yang berkisar antara 28-33 per mil. Tetapi selama ini belum diketahui spesies mana yang mempunyai laju pertumbuhan yang lebih baik. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui laju pertumbuhan antara    E. cottonii dan E.  spinosum yang hidup pada perairan yang sama.

1.3.TUJUAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar perbedaan laju pertumbuhan rumput laut antara  E. cottonii dengan E. spinosum diperairan Desa Kutuh, Kuta Selatan Kabupaten Badung-Bali

1.4.MANFAAT
Dengan diketahuinya laju pertumbuhan E. cottonii dan E. spinosum maka dapat memberikan gambaran dalam produktivitas pada masing-masing spesies, sehingga produksi rumput laut dapat ditingkatkan untuk mempercepat target pemerintah mengenai ekspor rumput laut di Indonesia.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biologi  Rumput Laut
Secara morfologis rumput laut merupakan tanaman laut yang berklorofil dan berthallus, artinya tidak jelas perbedaan antara akar, batang dan daun. Perbedaan rumput laut jenis satu  dengan jenis yang lainnya terletak pada thallusnya. Berupa bulat, pipih, gepeng, dan juga berbentuk seperti helai rambut, susunan thallus ada yang uniseluler (sel satu) atau multi seluler (banyak sel). Thallus ini bisa bercabang dua, berderet searah pada satu sisi thallus utama, bercabang dua-dua sepanjang thallus utama secara selang-seling (Santosa, 2003).
Keanekaragaman jenis rumput laut di perairan Indonesia cukup tinggi, tetapi pada saat ini baru dikenal lima jenis yang bernilai ekspor tinggi, yaitu adalah Gelidium, Gelidiella, Hypnea, Eucheuma, dan Gracilaria. Dua jenis diantaranya sudah dibudidayakan dan berkembang di masyarakat, yaitu Eucheuma dan Gracilaria. Daerah budidaya rumput laut di Indonesia yang membudidayakan jenis Eucheuma dan Gracilaria adalah Kepulauan Riau, Lampung, Kepulaun Seribu, Bali, Lombok, Flores, Sumba, Sulawesi, dan Madura (Sediadi dan Budihardjo, 2000).
Rumput laut termasuk golongan alga yaitu kelompok tumbuh-tumbuhan berchlorofil yang terdiri dari satu atau banyak sel, berbentuk koloni, hidup diperairan yang dangkal, dengan dasar perairannya berpasir, berlumpur atau pasir. Rumput laut biasa hidup di daerah pasang surut yang perairannya jernih, dan menempel pada karang yang mati, potongan karang atau substrat lainnya baik yang berbentuk secara alamiah maupun buatan (Afrianto dan Liviawati, 1993).

2.1.1. Klasifikasi Rumput Laut
Rumput laut ini tergolong alga yang dikelompokkan menjadi empat kelas, yaitu alga hijau (Chlorophyceae), alga hijau-biru (Cyanophyceae), alga coklat (Phaecophyceae) dan alga merah (Rhodophyceae) (Winarno, 1996). Keempat kelas tersebut yang membedakan adalah pigmennya, Rhodophyceae memiliki pigmen fikobilin yang terdiri fikoeritrin (berwarna merah) dan fikosianin (berwarna biru). Selain itu, Rhodophyceae bersifat adaptasi kromatik, yaitu memiliki penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan dan dapat menimbulkan berbagai warna pada thallus seperti : merah tua, merah muda, pirang, coklat, kuning dan hijau. Spesies dari divisi ini  yang mempunyai  nilai ekonomis adalah dari marga Gracilaria, Gelidium, Hypnea, Gigartina, Rhodymenia dan Eucheuma sebagai penghasil ekstrak caragenanfoodstuff dan penghasil agar-agar. Menurut Suptijah (2002), marga Eucheuma  terdiri dari dua spesies yaitu Eucheuma spinosum dan Eucheuma cottonii yang mempunyai ciri-ciri :
·         Thallus (kerangka tubuh tanaman) bulat silindris atau gepeng
·         Berwarna merah, merah-coklat , hijau-kuning dan sebagainya
·         Bercabang berselang tidak teratur, di atau trikotomous.
·         Memiliki benjolan-benjolan (blunt nodule) dan duri-duri atau spines
·         Substansi thallus “gelatinus” dan/atau “kartilagenus” (lunak seperti tulang rawan)
Rumput laut yang mengandung karaginan adalah dari marga Eucheuma. Karaginan ada tiga macam, yaitu iota-karaginan dikenal dengan tipe spinosum, kappa karaginan dikenal dengan tipe cottonii dan lambda karaginan. Ketiga macam karaginan ini dibedakan karena sifat jelly yang terbentuk. Iota-karaginan berupa jelly lembut dan fleksibel atau lunak. Kappa karaginan jeli bersifat kaku dan getas serta keras. Lambda karaginan tidak dapat membentuk jeli, tetapi berbentuk cair yang viscous.
Klasifikasi rumput laut Eucheuma cottonii menurut Indriani dan Sumiarsih (2003) adalah :
Phylum            : Thallophyta
Class                : Rhodophceae
Subclass          : Florideophyceae
Ordo                : Gigartirales
Familia            : Soilireaceae
Genus              : Eucheuma
Species            : Eucheuma cottonii

E. cottonii merupakan alga dari divisi Rhodopyta (alga merah) yang memiliki thali (kerangka tubuh tanaman) berbentuk bulat silindris atau gepeng. Thalli tersebut berwarna merah, merah coklat, hijau kekuningan, bercabang tidak teratur (di-trikotomus), terdapat benjolan (blue nodule) dan duri (spines). Sifat substansi thalli juga beraneka ragam, ada yang lunak seperti gelatin (gellatinous), keras diliputi atau mengandung zat kapur (calcareous), lunak seperti tulang rawan (cartilagenous) dan berserabut (spongious) (Aslan, 2006).
            Rumput laut Eucheuma spinosum pertama kali dipublikasikan pada tahun 1768 oleh Burman dengan nama Fucus denticulatus. Burma, kemudian pada tahun 1822 C. Agardh memperkenalkannya dengan nama Sphaerococus isiformis C. Agardh, selanjutnya pada tahun 1847 J. Agardh memperkenalkannya dengan nama Eucheuma J. Agardh. (Anonymous, 2007).
Klasifikasi Eucheuma spinosum sebagai berikut;
Kingdom Divisi          : Thallophyta
Class                            : Rhodophyceae
Subclass                      : Florideophyceae
Ordo                            : Gigartirales
Familia                        : Soilireaceae
Genus                          : Eucheuma
Species                        : Eucheuma spinosum

E. spinosum mempunyai thallus silindris, permukaan licin, cartilagenous, warna coklat tua, hijau kuning atau merah ungu. Ciri  khusus secara morfologis memiliki duri yang tumbuh berderet  melingkari thallus dengan interval yang bervariasi sehingga membentuk ruas-ruas thallus diantara lingkaran duri. Percabangan berlawanan atau berselang seling dan timbul teratur pada deretan duri antar ruas dan merupakan kepanjangan dari duri tersebut. Cabang dan duri ada juga yang tumbuh pada ruas thallus tetapi agak pendek. Ujung percabangan meruncing dan setiap percabangan mudah melekat pada substrat yang merupakan ciri khas E. Spinosum (Aslan 2006).
Pigmentasi merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi rumput laut. Pigmen ini terdapat pada thallus dan perbedaan pigmen akan menentukan warna thallus yang ada dalam kelas seperti alga hijau, alga coklat, alga merah, dan alga biru. Satu kelas misalnya alga merah, warna thallus yang muncul tidak selalu hanya merah tetapi ada yang hijau kekuning-kuningan, coklat kehitam-hitaman atau kuning kecoklat-coklatan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan lingkungan hidupnya yang berbeda dan berubah-ubah akibat fenomena Hidro-Oceanografis (Indriani dan Sumiarsih, 2003).

2.1.2. Habitat dan Penyebarannya
Habitat rumput laut Eucheuma cottonii adalah daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap. E. cottonii umumnya terdapat di daerah pasang surut (intertidal) atau pada daerah yang selalu terendam air (subtidal). Melekat pada substrat di dasar perairan yang berupa karang batu mati, karang batu hidup, batu gamping atau cangkang moluska, umumnya E. cottonii tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu (reef), karena di tempat tersebut beberapa persyaratan untuk pertumbuhannya banyak terpenuhi, diantaranya faktor suhu perairan, substrat dan gerakan air. E. cottonii lebih bagus dengan  suhu harian antara 25-300C dalam proses pertumbuhannya. Alga ini tumbuh mengelompok dengan berbagai jenis rumput laut lainnya yang memiliki keuntungan dalam hal penyebaran spora (Aslan, 2006).
 Pada E. Spinosum, algae ini tumbuh tersebar di perairan Indonesia pada tempat-tempat yang sesuai dengan persyaratan tumbuhnya, antara lain substrat batu, air jernih, ada arus atau terkenan gerakan air lainnya, kadar garam antara 28-36 per mil dan cukup sinar matahari (Nazam, 2004).

2.1.3. Sistem Reproduksi Rumput Laut
Pembiakan rumput laut berbeda dengan tanaman tingkat tinggi (tanaman berbunga) yang biasanya hidup di pantai (Aslan, 2006). Pada tanaman rumput laut terdapat dua macam sistem reproduksi yaitu :
A.    Reproduksi Seksual
Reproduksi seksual lebih rumit daripada aseksual. Tanaman rumput laut yang diploid (2n) dihasilkan spora-spora yang haploid (n). Spora-spora ini kemudian akan tumbuh menjadi dua jenis rumput laut, yaitu rumput laut jantan dan rumput laut betina yang masing-masing bersifat haploid (n). Rumput laut jantan akan menghasilkan spermatium, yaitu sel kelamin jantan yang bersifat haploid (n). Rumput laut betina akan menghasilkan sel telur yang juga bersifat haploid (n). Apabila terjadi pertemuan antara dua gamet (jantan dan betina) akan ditandai dengan terbentuknya zigot yang bersifat diploid (2n). Zigot ini kemudian akan tumbuh kembali menjadi tanaman rumput laut yang bersifat diploid (2n) (Afrianto dan Liviawati, 1993).
B.     Reproduksi Aseksual
Reproduksi aseksual terjadi secara sederhana, karena tanpa didahului dengan pembentukan tanaman yang haploid (n) maupun perkawinan. Setiap bagian tanaman rumput laut yang dipotong dapat tumbuh menjadi rumput laut muda yang mempunyai sifat seperti induknya (2n).




2.2.      Budidaya Rumput Laut
Kebutuhan rumput laut yang semakin meningkat, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri, sekaligus memperbesar devisa negara dan sektor nonmigas. Maka cara terbaik untuk tidak menggantungkan persediaan dari alam adalah dengan budidaya rumput laut, baik secara ekstensif maupun secara intensif dengan menggunakan lahan yang ada (Anugrah, 1990).
Dalam hal ini, dari rumpun thalli alga, dibuat potongan dengan ukuran tertentu (30-150 gram) untuk dijadikan bibit. Bibit ini ditanam dengan cara mengikatnya pada tali nilon maupun rakit di atas perairan dengan jarak tanam 20 cm. Pertumbuhannya dapat  dilihat dengan bertambah besarnya bibit tersebut (Afrianto dan Liviawati, 1993). Menurut Winarno (1996), bahwa sebagian besar rumput laut Indonesia masih merupakan hasil panen alami, oleh karena itu mutu, jumlah dan kesinambungan produksinya masih belum menentu. Mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan usaha pembudidayaan.
Budidaya rumput laut secara umum di perairan pantai amat cocok diterapkan pada daerah yang memiliki lahan tanah sedikit (sempit) serta penduduk padat. Sehingga diharapkan pembukaan lahan budidaya rumput laut  di perairan tersebut menjadi salah satu alternatif terbaik untuk membantu mengatasi lapangan kerja yang makin kecil (Aslan, 2006).
Metode rakit lepas dasar cocok diterapkan pada perairan berkarang dimana pergerakan airnya didominasi oleh ombak. Penanaman dilakukan dengan menggunakan rakit dari bambu/kayu. Ukuran setiap rakit sangat bervariasi tergantung pada ketersediaan material. Ukuran rakit dapat disesuaikan dengan kondisi perairan tetapi pada prinsipnya ukuran rakit yang dibuat tidak terlalu besar untuk mempermudah perawatan rumput laut yang ditanam (Anggadiredja, 2006).
Menurut laporan Anggadiredja (2006), keberhasilan budidaya rumput laut sangat ditentukan sejak penentuan lokasi. Hal ini dikarenakan produksi dan kualitas rumput laut dipengaruhi oleh faktor-faktor ekologi yang meliputi kondisi substrat perairan, metode budidaya, suhu, arus, salinitas, kecerahan, penyediaan bibit, penanaman bibit, perawatan selama pemeliharaan, hama dan penyakit.





2.3.      Parameter Oseanografi
Faktor- faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut ditinjau dari segi oseanografi menurut Soenardjo, (2003) yaitu:
A.    Dasar perairan
Kondisi perairan yang paling baik bagi pertumbuhan Eucheuma sp adalah yang memiliki dasar perairan yang stabil yang terdiri dari potongan-potongan karang yang mati dan bercampur dengan pasir karang.
B.     Kedalaman air
Eucheuma sp secara alami didapati hidup dan tumbuh dengan baik pada kedalaman air 10-30 cm pada surut terendah.
C.     Salinitas
Eucheuma sp tumbuh pada salinitas yang tinggi. Penurunan salinitas akibat masuknya air tawar akan menyebabkan pertumbuhan Eucheuma sp menjadi tidak normal. Namun sebaiknya lokasi budidaya terletak jauh dari mulut muara sungai yang debit airnya besar. Hal tersebut berguna untuk menghindari adanya endapan lumpur. Salinitas untuk pertumbuhan optimal Eucheuma sp sekitar 28-34 permil dengan nilai optimum salinitas 33 permil.
D.    Suhu
Suhu air laut yang baik untuk budidaya Eucheuma sp berkisar antara 27o-30oC, Kenaikan temperatur yang tinggi akan mengakibatkan thallus rumput laut yang menjadi pucat kekuning-kuningan dan tidak sehat.
E.     Kejernihan air
Budidaya rumput laut dengan tingkat kejernihan air yang tinggi sangat dibutuhkan, sehingga cahaya dapat masuk ke dalam air. Intensitas sinar yang diterima secara sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis. Kondisi air yang jernih dengan tingkat transparansi sekitar 1,5 meter cukup baik bagi pertumbuhan rumput laut.
F.      pH
Rumput laut umumnya tumbuh pada pH optimal bagi pertumbuhan Eucheuma sp antara 7,5-8,0.
H.  Angin dan Arus
Kesuburan lokasi tanaman sangat ditentukan oleh adanya gerakan air yang berombak maupun arus. Gerakan air ini merupakan pengangkut yang paling baik untuk zat makanan yang diperlukan bagi pertumbuhan rumput laut. Ombak dan arus merupakan alat pengaduk yang baik sehingga air menjadi homogen.
Arus dapat mengatasi kenaikan temperatur air laut yang tajam. Kecepatan arus yang dianggap cukup untuk budidaya rumput laut kira-kira 20-40 cm per detik. Untuk pertumbuhannya, Eucheuma sp membutuhkan gerakan air yang berupa ombak yang dominan sepanjang tahun. Suatu perairan yang mempunyai cukup gerakan air ditandai oleh terdapatnya karang lunak (soft coral) dan juga ditandai oleh kondisi daun (Thalasia, Euchallis) yang bebas dari debu air 9 (silt) (Winarno, 1996)
Laju pertumbuhan per hari sangat ditentukan oleh sesuai atau tidaknya perairan tersebut bagi kehidupan tanaman. Salah satu faktor terpenting adalah cukup kuat tidaknya gerakan air/arus yang berfungsi sebagai pembawa makanan/zat hara tanaman. Kondisi perairan yang optimum untuk budidaya E. spinosum adalah kecepatan air sekitar 20-40 cm per detik, dasar perairan cukup keras tidak berlumpur, kisaran salinitas 28-34 ppt (optimum 33 ppt), suhu air berkisar 20-28oC dengan fluktuasi harian maksimal 4oC, kecerahan tidak kurang dari 5 m, pH antara 7,3 - 8,2 (Nazam, 2004).
Lokasi budidaya hendaknya dipilih perairan yang terlindung, namun masih memiliki pergerakan air yang baik. Sehingga dengan adanya pergerakan air, hara dalam air dapat selalu bergerak dan menyebar sehingga dapat diharapkan menjadi hara bagi pertumbuhan rumput laut. Persyaratan hara yang diperlukan (fosfat dan nitrat) biasanya sulit diperkirakan dan ditentukan. Hendaknya dipilih perairan yang bebas polusi, baik polusi oleh limbah domestik (rumah tangga) maupun limbah dari industri. Adanya polusi logam berat seperti merkuri (Hg), akan banyak meningkatkan biaya produksi dan pembersihan. Persyaratan umum lainnya  adalah perairan harus bersih dan jernih karena perlu untuk fotosintesis tanaman. Daerah budidaya hendaknya dipilih daerah yang terpencil dan mudah dicapai dengan transportasi yang ada (Winarno, 1996).
Persyaratan hidup yang dikaitkan dengan habitat masing-masing jenisnya adalah sebagai berikut, jenis Eucheuma hidup menempel pada dasar perairan karang (coral reef). Apabila polutan yang mencemari perairan ternyata mengganggu pertumbuhan, maka budidaya dapat mengalami kegagalan. Beberapa jenis logam berat seperti merkuri (Hg) dan timbal (Pb) dapat terakumulasi di dalam tanaman tanpa membahayakan tanaman. Namun demikian, bila produk rumput laut tersebut kelak  digunakan  untuk bahan mentah industri pangan, minuman, farmasi dan kosmetika, maka hal ini akan membahayakan konsumen. Karenanya perlu pengolahan khusus yang biayanya relative lebih mahal (Departemen Pertanian, 1992).
2.4.      Pertumbuhan Rumput Laut                                                                       
Menurut Effendi (1997) dalam Bambang (2006), pertumbuhan merupakan salah satu aspek biologi yang harus diperhatikan dalam usaha budidaya rumput laut, sedangkan laju pertumbuhan yang dianggap menguntungkan adalah diatas 3% pertambahan berat perhari. Pertumbuhan rumput laut dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang bersifat internal maupun eksternal. Faktor internal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan antara lain jenis rumput laut, galur, bagian thallus dan umur rumput laut yang akan dibudidayakan. Dan faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan antara lain keadaan lingkungan fisika dan kimiawi yang dapat berubah menurut ruang dan waktu, penanganan bibit, perawatan tanaman dan metode budidaya yang digunakan. Pertumbuhan rumput laut dapat digambarkan dalam 2 bentuk yaitu pertumbuhan harian dan pertumbuhan mutlak.
1.      Pertumbuhan Mutlak
Kecepatan pertumbuhan mutlak ialah pertumbuhan ukuran baik berat dan panjang yang sebenarnya dalam waktu 40 hari/ sampai panen (Effendi, 1997) dalam Bambang (2006).
2.  Pertumbuhan Harian
Pertumbuhan harian ialah pertumbuhan ukuran baik berat dan panjang yang sebenarnya dalam waktu tertentu (Effendi, 1997) dalam Bambang (2006).
Menurut Trono (1974), apabila arus yang diperoleh sama pada tiap bagian tali rentang, maka kesempatan untuk bertumbuh akan sama baik untuk thallus yang berada di bagian tepi maupun thallus yang berada di bagian tengah.  Sehingga dengan demikian pertumbuhan thallus rumput laut relatif seragam dalam satu unit rakit tali rentang.










III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini akan dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan di perairan Desa Kutuh, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali. Lokasi penelitian merupakan sentra budidaya rumput laut yang ada di Kabupaten Badung. 

3.2. Alat Dan Bahan
A.    Alat
·         Rakit rumput laut yang terbuat dari bambu dan berbentuk segi empat yang berukuran dengan panjang 5 m dan lebar 2.5 cm, yang berfungsi sebagai tempat atau menanam rumput laut.
·         Thermometer digunakan sebagai pengukur suhu pada perairan.
·         pH meter mengukur keasaman air laut
·         Sechidisk untuk mengukur kedalaman perairan.
·         Bola duga mengukur kecepatan arus atau gelombang
·         Refraktometer untuk mengukur salinitas perairan
·         Timbangan fungsinya untuk mengukur sampel rumput laut.
B.     Bahan
·         Rumput laut E. cottonii yang dipakai yaitu rumput laut berkualitas tinggi, segar, bercabang banyak, mempunyai batang lebih tebal dan berat.
·         Rumput laut E. spinosum yang dipakai yaitu rumput laut berkualitas tinggi segar, bercabang banyak dan masih muda.

3.3. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sample survey method atau survey di lapangan. Sampel survey method adalah pengambilan data dengan cara mencatat data mengenai situasi dan kejadian pada waktu dan tempat serta populasi yang terbatas, sehingga memberikan gambaran tentang situasi dan kondisi lokal (Hadi,1986). Metode survey merupakan metode yang cenderung untuk meneliti sejumlah kecil variable pada unit sampel yang besar. Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling adalah metode sampling pertimbangan, yaitu metode pengambilan lokasi dan sampel didasarkan atas adanya tujuan tertentu dengan berbagai pertimbangan (Arikunto, 1993).
Data akan dianalisis menggunakan uji T, selanjutnya dari hasil analisis tersebut ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik serta keterangan diskriptif.
Budidaya rumput laut dilakukan dengan metode rakit lepas dasar (off bottom method) sebanyak 2 unit dengan ukuran rakit masing-masing 5x2.5 meter. Jarak tanam masing-masing bibit yaitu 25 -30 cm. Jenis rumput laut yang digunakan yaitu Eucheuma cottoni dan Eucheuma spinosum. Berat bibit Rumput laut E. cottonii Rumput laut E. spinosum yaitu sebesar 100 gram. Waktu  pemeliharaan  selama 40 hari, dan pengambilan sampel dilakukan setiap 10 hari sekali sebanyak 10 sampel rumput laut.

3.3.1. Parameter Utama
Penghitungan pertumbuhan mutlak dilakukan dengan menggunakan menggunakan rumus mutlak, standar dan rata-rata pertumbuhan harian menurut Effendi, (1997).
1. Pertumbuhan Mutlak
Keterangan :
G     : Pertumbuhan mutlak
Gr   : Laju Pertumbuhan harian
Wt  : bobot pada waktu pengamatan (gram)
Wo : Bobot Awal (gram)
t      : waktu (hari)

2.      Pertumbuhan Standar
Keterangan:
SGR    : Laju Pertumbuhan Standar (%)
lnwt     : Berat  akhir Rumput Laut (gram)
lnwo     : Berat Awal Rumput Laut (gram)
t            : waktu (hari)
3.      Rata-Rata Pertumbuhan Harian
Keterangan  :
ADG      : Pertumbuhan Harian (%)
Wt          : Bobot Setelah t hari (gram)
Wo                     : Bobot Awal (gram)
 t             : waktu (hari)

3.3.2. Parameter Penunjang
a.       Suhu
            Suhu permukaan air diukur dengan menggunakan thermometer analog, yaitu dicelupkan sekitar 50 cm dari permukaan air.
b.      pH
Cara praktis mengukur pH adalah menggunakan pH pen yaitu menghidupkannya dan mencelupkan ke perairan kemudian mencatat hasilnya (berupa angka).
c.       Kecepatan arus
Dilakukan dengan  menggunakan bola duga yang diberi benang  1 meter kemudian dilepas diperairan menggunakan timer/stopwatch (Bambang, 2006 dalam Alaerts dan Santika, 1984).
d.      Salinitas
Meneteskan satu tetes air laut pada prisma refraktometer, kemudian melihat angka yang tertera pada bagian eye piece dan akan tertera nilai salinitasnya serta mencatat nilai hasil pengamatan.
e.       Kecerahan
Secara perlahan-lahan sechi disk dimasukkan dalam air hingga batas kelihatan dan dicatat kedalamannya. Kemudian sechi disk diturunkan sampai tidak kelihatan, kemudian pelan-pelan ditarik sampai nampak lagi dan dicatat kedalamannya. Data yang diperoleh dimasukkan dalam rumus : Kecerahan  = (Kedalaman 1 -  Kedalaman 2) / 2 (Bambang, 2006 dalam Alaerts dan Santika, 1984)..

3.4. Tahap Pelaksanaan Penelitian
a.       Seleksi Bibit
Bibit yang dipilih untuk budidaya yaitu rumput laut yang kualitasnya bagus dan bercabang banyak atau yang masih muda, baik bibit E. cottoni maupun E. spinosum. Bibit yang ditanam adalah tallus rumput laut yang sudah dipotong.
b.      Penanaman
Penanaman rumput laut Eucheuma sp. yaitu pengikatan bibit pada tali tanam kemudian tali bentang diikat pada rakit. Lokasi yang akan digunakan dalam budidaya berjarak kurang lebih 150 m dari bibir pantai. Metode yang digunakan adalah metode rakit apung.
c.       Pemeliharaan
Pemeliharaan rumput laut seminggu setelah penanaman, bibit yang ditanam harus diperiksa dan dipelihara dengan baik melalui pengawasan yang teratur atau secara terus-menerus selama 40 hari, untuk mengantisipasi adanya tallus yang rontok atau ada rakit yang rusak.
d.      Pengambilan sampel dan pengumpulan data
Pengambilan sampel dengan cara rumput laut yang akan dijadikan sample pertama masing-masing sampel ditandai dengan menggunakan nomer, cara pengambilan sampel rumput laut dilepas dari tali tanam dengan tali yang bisa di buka pasang. Sampel yang akan diambil yang akan ditimbang sebanyak 10 sampel dangan 10 kali ulangan dari masing-masing spesies hingga waktu panen dengan renggang waktu pemliharaan selama 40 hari.

3.5. Analisa data
Deny (2007) menjelaskan bahwa Uji-t (t-test) merupakan statistik uji yang sering kali ditemui dalam masalah-masalah praktis statistika. Uji-t termasuk dalam golongan statistika parametrik. Statistik uji ini digunakan dalam pengujian hipotesis. Uji-t digunakan ketika informasi mengenai nilai variance (ragam) populasi tidak diketahui. Uji-t dapat dibagi menjadi 2, yaitu uji-t yang digunakan untuk pengujian hipotesis 1-sampel dan uji-t yang digunakan untuk pengujian hipotesis 2-sampel.

3.6. Jadwal Kegiatan Penelitian
No
Jenis Kegiatan
Bulan Ke 1
Bulan Ke 2
Bulan Ke 3
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
1
Persiapan Proposal Penelitian












2
Survey Lokasi Penelitian












3
Persiapan Alat dan Bahan Penelitian












4
Penanaman Rumput laut












5
Pengambilan Data Penelitian












6
Penyusunan Laporan Kemajuan












7
Penyusunan Laporan Akhir












8
Seminar Hasil Penelitian














DAFTAR PUSTAKA

Afrianto dan Liviawati, 1993. Budidaya Rumput Laut dan Cara Pengolahannya. Bharata: Jakarta

Anggadiredja, J, T., 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.

Arikunto, S. 1993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta Jakarta.

Aslan, L. M., 2006. Budidaya Rumput Laut. Kanisius . Yogyakarta.

Anugarah, 1990. Potensi dan Pengembangan Budidaya Perairan  di Indonesia. Lembaga penelitian Indonesia. Jakarta.

Bambang, D., 2006. Kajian Parameter Oceanografi Terhadap Pertumbuhan Rumput  Laut (Eucheuma cottonii) di Perairan Bluto Sumenep Jawa Timur. Universitas Trunujoyo Bangkalan Madura.
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, 2009. Produksi Rumput Laut di Bali turusn 15,2%. http://www.kabarbisnis.com/read/282238.

Depertemen Pertanian, 1992. Budidaya Beberapa Hasil Rumput Laut. Departemen Pertanian. Jakarta.

Hadi, S. 1986. Metodology Research I. Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi, UGM. Yogyakarta.

Indriani, H., dan Sumiarsih, E., 2003. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput Laut (cetakan 7)  Penebar Swadaya, Jakarta.
Nazam, M. P. dan A. Surahman, 2004. Dampak Pengkajian Budidaya Rumput Laut  di Nusa Tenggara Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB.

Santosa, G.W. 2003. Budidaya Rumput Laut di Tambak. Program Community College. Industri kelautan dan perikanan. Universitas Diponegoro. Semarang.

Sediadi dan Budihardjo., 2000. Rumput Laut Komuditas Unggulan. Grasindo Jakarta.

Setyati, A. W., 2003. Pemasaran Budidaya Rumput Laut. Program Community College. Industri Kelautan dan Perikanan. Universitas Diponegoro Semarang. Semarang.

Soenardjo N., 2003. Membudidayakan Rumput laut, Balai Pustaka Semarang.

Suptijah, 2002. Rumput Laut. http:// www.rumput laut /com. Institut pertanian Bogor. Bogor.
Winarno, 1996.  Teknik Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.